Wartawan Liputan Dibentak: Cermin Buram Etika Pejabat di Daerah!

banner 468x60

Kasus wartawan dihalangi pekerjaanya oleh-diduga staf Humas atau protokol Setda TTS-jadi pelajaran penting soal etika, profesionalisme, dan cara pemerintah daerah memperlakukan media di era keterbukaan informasi.

KEJADIAN di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) ini bikin geleng-geleng kepala.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Beberapa wartawan yang datang untuk meliput kegiatan penyerahan alat dan mesin pertanian konon dibentak dan dihalangi saat memfoto oleh orang yang diduga sebagai staf Humas atau Protokol Setda TTS.

Padahal, mereka datang ke acara di halaman Kantor Bupati TTS pada Kamis, 23 Oktober 2025 itu karena diundang resmi.

Kalau betul dibentak dan dihalangi kerja jurnlistiknya, ini bukan cuma soal emosi sesaat, tapi soal paham atau nggak pahamnya orang humas tentang kerja pers.

Kalau mau jujur, yang dilakukan oknum staf Humas atau Protokol Setda TTS itu bisa jadi melanggar hukum.

Di Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 sudah jelas banget: wartawan punya hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi.

Bahkan di Pasal 18 ayat (1), siapa pun yang dengan sengaja menghalangi kerja wartawan bisa dipenjara sampai dua tahun atau didenda lima ratus juta rupiah.

Jadi, ini bukan sekadar “ribut kecil”, tapi bisa masuk ranah pidana.

Agak lucu jika membayangkan; yang merasa paling berkuasa di acara justru bukan pejabatnya, tapi staf-stafnya.

Berdiri paling depan, merasa paling penting, dan lupa kalau wartawan juga punya tugas resmi.

Kalau memang mau liput sendiri, ya nggak usah undang media. Tapi kalau sudah undang, ya hormati kerja mereka. Jangan malah menimbulkan menghalang-halangi dan marah-marah.

“Pak Kabag, mohon bantuan penegasan. Kalau kami diundang untuk liputan, tolong diberikan ruang sepenuhnya untuk ambil gambar. Kalau staf Humas kuasai tempat dan halangi kami, bagaimana kami bisa dapat gambar penting? Kami juga bisa ditegur redaktur kalau hasil liputan tidak maksimal,” ungkap Marfin, wartawan Penakita dalam lansiran suaratts.com yang berjudul “Wartawan TTS Keluhkan Sikap Oknum Staf Humas dan Protokol yang Halangi Liputan Penyerahan Alsintan” dan tayang 24 Oktober 2025.

Masalah seperti ini muncul bisa karena manajemen acara yang amburadul.

Humas mungkin nggak ngasih rundown jelas, nggak kasih tahu di mana posisi wartawan, dan nggak atur waktu liputan dengan baik.

Kalau semuanya disiapkan rapi, nggak mungkin kejadian kayak gini muncul. Acara resmi itu harusnya diatur dengan kepala dingin, bukan dengan bentakan.

Sebetulnya, ini bukan cuma soal satu orang yang diduga Humas atau Protokol Setda di TTS.

Ini soal cara pikir banyak birokrat daerah yang belum anggap wartawan sebagai mitra strategis komunikasi publik.

Mereka mungkin lupa, tugas wartawan itu memastikan publik tahu apa yang terjadi, bukan bikin pejabat kelihatan jelek.

Kalau pejabatnya kerja baik, media justru bantu publik tahu prestasinya.

Kejadian ini sebaiknya jadi bahan introspeksi bareng.

Pihak Humas perlu pelatihan soal komunikasi publik dan bagaimana memperlakukan wartawan secara profesional.

Wartawan juga perlu tetap tenang, nggak terpancing, tapi tegas kalau ada yang melanggar hak mereka.

Intinya, sama-sama belajar biar kerja lapangan bisa lebih sehat dan saling menghormati.

Kerja wartawan dan Humas itu sebenarnya saling melengkapi. Wartawan butuh informasi, Humas butuh publikasi.

Tapi kalau hubungan ini diwarnai arogansi dan salah paham, yang rugi ya masyarakat.

Karena publik jadi nggak dapat informasi yang jernih. Jadi, sebelum bicara soal kemerdekaan pers, mari belajar dulu soal etika kerja dan sopan santun komunikasi. Sesederhana itu.

 

Oleh:

GusDus Torus Indonesia

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60