Pasal-pasal dalam UU Nomor 14 Tahun 2025 menegaskan perbedaan perlakuan antara jamaah reguler dan pelaku umrah mandiri.
CARAPOLITIK.COM | Pemerintah resmi mengundangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU Haji dan Umrah) pada 4 September 2025 di Jakarta.
Regulasi baru ini menjadi dasar hukum pelaksanaan haji dan umrah bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk yang memilih jalur mandiri.
Salah satu poin penting dalam Undang-Undang Haji dan Umrah 2025 adalah legalisasi perjalanan umrah secara mandiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (1) huruf b.
Artinya, masyarakat dapat berangkat umrah tanpa melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), selama memenuhi ketentuan yang berlaku.
Namun, kebebasan itu datang dengan konsekuensi. Dalam Pasal 96 ayat (5) huruf e, disebutkan bahwa pelaku umrah mandiri tidak mendapatkan perlindungan jiwa, kecelakaan, maupun kesehatan.
Negara tidak menanggung risiko apapun yang terjadi selama perjalanan ibadah berlangsung.
Lebih jauh, Pasal 97 ayat (1) huruf a dan huruf b menegaskan bahwa jamaah umrah mandiri tidak berhak atas kompensasi, ganti rugi, atau perlindungan atas layanan akomodasi, konsumsi, dan transportasi.
Dengan kata lain, seluruh tanggungjawab operasional dan finansial menjadi beban individu yang bersangkutan.
Dalam aspek administratif, Pasal 18 ayat (1) huruf b mengatur bahwa visa yang digunakan untuk pelaku umrah mandiri adalah visa haji mandiri atau visa haji non kuota.
Ketentuan ini membedakan secara tegas antara jamaah umrah reguler dan mereka yang berangkat secara mandiri.
Melalui regulasi ini, pemerintah tampak ingin menyeimbangkan dua hal: memberikan ruang kebebasan beribadah bagi masyarakat sekaligus menjaga tata kelola haji dan umrah agar tetap terstruktur dan terlindungi.
UU Nomor 14 Tahun 2025 sekaligus menjadi respons atas praktik umrah ilegal dan sengketa perlindungan jamaah yang selama ini kerap muncul.
Dengan diberlakukannya UU Haji dan Umrah 2025, masyarakat kini dihadapkan pada pilihan sadar: berangkat secara resmi dengan perlindungan penuh, atau mandiri dengan segala konsekuensinya.
Kebijakan ini menjadi sinyal bahwa negara memberi kebebasan beribadah, tapi tidak lagi menanggung risiko yang lahir dari keputusan pribadi.[]








