Dilema Fiskal Daerah di Balik Program Tiga Juta Rumah Pemerintah
CARAPOLITIK.COM | Kebijakan pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa bikin tekor Pemda.
Bagi pemerintah pusat, kebijakan ini terdengar pro-rakyat. Tapi bagi pemerintah daerah (Pemda), langkah ini menutup sumber pendapatan bagi daerah.
Namun, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mencoba menenangkan kepala daerah dengan membingkai kebijakan tersebut sebagai langkah populis dan politis yang menguntungkan.
“Karena ini membantu rakyat berpenghasilan rendah. Masa kita mau narik pajak, retribusi dari masyarakat yang enggak mampu? Kira-kira itu,” ujar Tito dalam acara Sosialisasi Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) di Shangri-La Hotel, Surabaya, Kamis, kemarin.
Populisme vs Realitas PAD: Siapa yang Tanggung Beban?
Bagi Tito, kebijakan itu adalah bagian dari program besar tiga juta rumah pemerintah pusat yang dijalankan oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara).
Program ini memang menyasar kelompok yang selama ini sulit memiliki rumah.
“Ini adalah program unggulan, dan beliau (Presiden Prabowo) menginginkan agar program yang pro-rakyat, karena melihat kenyataan ada rakyat yang tidak memiliki rumah,” tegas Tito.
Tapi dibalik narasi populisme itu, Pemda justru menghadapi risiko fiskal nyata.
Bagaimanapun, BPHTB dan retribusi PBG selama ini menyumbang rupiah ke kas daerah.
Tanpa dua pos itu, banyak daerah bisa-bisa harus memangkas belanja publik atau mencari sumber pendapatan baru.
Tito menyebut langkah ini “menguntungkan kepala daerah” karena bisa menaikkan popularitas, sebagaimana tertulis dalam berita kompas.com yang dikutip Carpol, Jumat, 17 Oktober 2025/24 Rabiul Akhir 1447 H.
Namun sebagian Pemda mungkin juga berpikir, popularitas tak bisa menggantikan pendapatan yang hilang.
Politik Populis yang Bisa Jadi Bumerang
Dalam jangka pendek, kebijakan ini memang bisa mendongkrak citra “pro-rakyat” bagi pemerintah pusat dan kepala daerah.
Tapi secara struktural, otonomi fiskal daerah terkikis, kemudian ketergantungan terhadap dana transfer pusat akan makin besar, sementara TKD termasuk DBH juga terus dikikis.
Kebijakan populis seperti ini mencerminkan strategi politik pemerintah pusat yang mencoba mengukuhkan legitimasi sosial melalui kebijakan konkret di sektor perumahan.
Tapi jika tidak diimbangi dengan kompensasi fiskal yang memadai, langkah ini bisa menjadi bumerang fiskal bagi Pemda.
Di tengah kondisi fiskal daerah yang makin ketat, dilema itu semakin jelas: sami’na wa atho’na dengan kebijakan pusat dan kehilangan PAD, sementara protes akan dicap anti-rakyat.
Diketahi, Kemendagri bersama Menteri PKP, dan Menteri Pekerjaan Umum (PU) telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama terkait implementasi pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan pembebasan Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).[]















